Sabtu, 21 Januari 2012

Puasa dalam kajian psikologi

PUASA DARI KAJIAN PSIKOLOGI ISLAM

1.    PENGERTIAN PUASA

Saum atau puasa dalam islam (Arab: صوم) secara bahasa artinya menahan atau mencegah. Menurut syariat agama Islam artinya menahan diri dari makan dan minum serta segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hinggalah terbenam matahari, dengan syarat tertentu, untuk meningkatkan ketakwaan seorang muslim. Perintah puasa difirmankan oleh Allah pada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 183.


"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas umat-umat sebelum kamu, agar kamu bertakwa."

Puasa dalam bahasa Arab di sebut al-shaum yang berarti menahan (imsak). Sedangkan secara terminologis, puasa adalah suatu ibadah yang diperintahkan Allah kepada hamba-Nya yang beriman dengan cara mengendalikan diri dari syahwat makan, minum, dan hubungan seksual serta perbuatan-perbuatan yang merusak nilai puasa pada waktu siang hari sejak terbit fajar sampai terbenam matahari (MUI DKI Jakarta, 2006:15).




2.    PEMBAHASAN

Puasa merupakan salah satu perilaku manusia yang merupakan bentuk ritualistik dalam teori stark tentang aspek aspek dari religiusitas.ritual puasa ini ada pada setiap agama. puasa merupakan bentuk ritual menahan untuk tidak makan dan minum serta menahan dorongan nafs. dalam kajian psikologi psikoanalisa disebutkan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk memperturutkan dorongan ID nya yang bersumber dari kebutuhan fisik.
    Puasa dalam kajian teori psikoanalisa
Kenapa ritual puasa ini penting bagi perkembangan psikis seseorang, tidak lain proses “menahan” inilah yang menempatkan puasa menduduki ritual penting. Menahan untuk tidak makan dan minum menjadikan superego lebih kuat dalam diri seseorang serta memperkuat ego agar tidak mengikuti dorongan dorongan biologis yang mengarah kepada kepuasan dan kenikmatan (pleasure principle). Konstelasi kejiwaan yang demikian akan menyebabkan kehidupan psikis secara keseluruhan lebih baik (psichological well being).
Perkembangan superego sebagai kekuatan moral dan etika pertama kali dimulai proses  ”menahan” yaitu pada saat si Anak mulai diajarkan “toilet trainning” dimana anak di ajarkan “menahan” dari buang air kecil dan air besar agar membuangnya ditempat yang bermoral yaitu toilet.  Dari sinilah si anak mulai mengenal adanya salah dan benar, baik dan buruk, mengenal adanya etika atau tidak, bermoral atau tidak, sehingga berawal dari dasar inilah penanaman etika lainnya mulai bisa terapkan secara bertahap.
    Puasa dalam kajian teori Maslow
Maslow mengatakan perilaku manusia dimotivasi oleh sesuatu yang mendasar. Secara berurutan, dari bawah yaitu fisiologi (makan, minum, seks), rasa aman, kasih sayang, harga diri dan aktulisasi diri. Puncak tertingginya adalah aktualisasi diri. Seorang manusia sudah tidak berpikir tentang harga diri, jika dirinya bisa menuangkan idealisme, berkonsentrasi penuh dalam aktivitas yang dicintainya. Sebagaimana ilustrasi seorang profesor filsafat yang mengajar dengan baju sederhana dan hanya menaiki sepeda.
Sebaliknya, motivasi dasar seorang manusia yang melakukan tindak pencurian, mayoritas adalah karena rasa lapar. Ketiadaan bahan makanan membuat mereka termotivasi mengambil yang bukan haknya. Gerombolan perampok selalu diawali karena kepapaan kolektif, kemiskinan yang marak menggejala. Sehingga selalu saja, alasan tindak kejahatan mayoritas adalah soal ekonomi yang minim.
Seorang pencuri ketika digelandang polisi, mungkin masih bisa tersenyum bahkan tertawa-tawa. Hal itu, karena dia tidak membutuhkan rasa aman atau harga diri. Bandingkan dengan mayoritas kita yang menyelamatkan muka dari malu adalah tindakan yang utama. Digelandang polisi adalah sebuah hal yang sangat memalukan. Gengsi itu bagian dari piramida ketiga Maslow.
Di sini muncul sebuah kesimpulan, harusnya rasa lapar menimbulkan efek kemarahan atau keinginan memberontak. Ini logika umum yang terjadi dalam kasus pencurian. Rasa lapar menciptakan imajinasi dan keinginan yang sewaktu-waktu laten bisa muncul dalam diri seseorang. Tetapi, yang menjadi ambigu adalah ketika seorang muslim berpuasa (yang artinya berada dalam kelaparan selama sehari penuh), justru menciptakan ketenangan.
Di wilayah ini, teori Maslow mendapat sanggahan secara praktikal dari kalangan Muslimin. Karena justru dalam praktik sejarah, banyak sekali para pelaku jalan spiritual melakukan tindak kelaparan ini untuk menaikkan derajat kemanusiaan, menghaluskan budi, menerawang masa depan, menjernihkan nurani dan mencapai posisi muthmainnah (ketenangan) batin. Mereka yang disebut sufi menjadi lapar dan sekaligus soleh. Justru bukan brutal, marah atau anarkis.
Sharpening The Saw
Di Barat, banyak orang yang belum memahami inti dari (ibadah) puasa dalam Islam. Mereka mengira pemeluk Islam yang bersengaja mengosongkan perut seharian penuh adalah para penganut mashocist, yaitu kaum yang suka menyakiti diri sendiri. Penjelasan rasional apapun belum bisa diterima. Mereka akan diam jika seorang muslim katakan, saya seorang mashocist. Karena memilih untuk menganut sebuah praktik kehidupan adalah bagian dari demokrasi personal yang harus dihormati. Padahal, pemahaman itu sangat salah.
Ramadan adalah saat di mana terjadi pengasahan kepekaan spiritual dan intelektual. Siklus hidup diatur sedemikian rupa, laku ritual dinaikkan intensitasnya. Di saat bersamaan ledakan keinginan negatif dilakukan dengan ketat. Menjadi lapar adalah pilihan, tapi berbeda dengan lapar biasa, dalam Ramadan warna, nilai dan spirit yang dikedepankan adalah ihsan. Perasaan selalu berada dalam pengawasan Tuhan.
Itulah sebabnya, teori yang memiliki korelasi dengan puasa justru adalah langkah ketujuh dari The Seven Habits: The Most Effective People (1997) karangan Steven R Covey, yaitu “mengasah gergaji” (sharpen the saw). Kebiasaan mengasah gergaji dihasilkan dari kemampuan pembaruan diri yang diaktualkan secara optimal.
Dikatakan kebiasaan efektif karena dengan terus mengasah gergaji (baca: pengembangan diri) dapat mengurangi kemungkinan yang menyebabkan kegagalan atau kelambanan menyelesaikan masalah akibat perubahan keadaan.
Salah satu kebiasaan efektif yang mampu merubah manusia menjadi berhasil adalah kemampuannya untuk mengasah terus menerus segala tools of life yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Termasuk dalam hal ini adalah jasad, kepekaan intelektual dan ruh spiritual. Model pelatihan itu sudah didesain sedemikian rupa berbentuk siklus tahunan.
Kehidupan adalah panggung masalah. Banyak profesional di dunia modern setelah mendapatkan seluruhnya, justru mengalami kegamangan. Padahal kebutuhan fisiologis (rumah, makana, minum, seks, dll) serta hierarki Maslow di atasnya sudah terpenuhi. Bahkan mereka sudah beraktualisasi diri, yaitu tingkat tertinggi dari hierarki Maslow.
Puasa Ramadan benar-benar menjadi arena penyadaran. Dalam satu bulan siklus tahunan itu, disadarkan bahwa makan, minum dan seks bukanlah kebutuhan utama. Puasa meningkatkan derajat kebutuhan manusia kepada jenjang yang lebih tinggi, yaitu “pengabdian total pada Tuhan”. Sayang, motivasi ini tidak tertera dalam puncak piramida Maslow.
Tetapi untunglah, sempat diceritakan dalam buku Stephen R Covey dan Roger Merill yang berjudul First Things First (sekuel Seven Habits), Maslow dalam tahun-tahun terakhir kehidupannya (wafat 1970), telah merevisi teorinya tersebut. Menurut Covey, Maslow mengakui bahwa aktualisasi diri (self actualization) bukanlah kebutuhan tertinggi. Namun masih ada lagi yang lebih tinggi, yaitu self transcendence atau hidup itu mempunyai suatu tujuan yang lebih tinggi dari dirinya. Mungkin yang dimaksud Maslow adalah kebutuhan mencapai tujuan hidup bertuhan dan beragama, atau yang sekarang lebih dikenal sebagai kebutuhan spiritual. Tujuan tertinggi manusia hidup sejatinya adalah self transcedence. Membersihkan nurani, membebaskan keinginan negatif dan mendamba perjumpaan hakiki dengan Yang Kuasa.
    Kekhasan ibadah puasa
Pentingnya puasa ini menjadi sangat penting di setiap ajaran agama karena layaknya toilet training  yang menjadi dasar bagi penanaman moral dan etika yang sesuai dengan norma yang sudah dibuat atau disepakati. Islam sebagai agama samawi sangat menekankan puasa sebagai ritual “rangking 3″ setelah sholat dan syahadat, bahkan islam memberikan bulan khusus yaitu bulan ramadhan dengan berbagai macam hikmah dan pahala yang menjadikan umat islam ini semangat untuk menjalankan ibadah puasa, lebih spesial lagi puasa selama 30 hari ini adalah hukumnya “wajib” yang menjadikan “mau tidak mau” harus mau untuk berpuasa. Hal ini lain dengan agama lain yang menempatkan puasa bukan sesuatu yang spesial tidak ada bulan khusus, tidak pahala khusus dan tidak mewajibkan untuk berpuasa. sungguh inilah ketinggian ajaran islam.
Sejarah mencatat, puasa merupakan  ibadah yang telah lama berkembang dalam masyarakat manusia, yakni sejak manusia pertama Adam as. hingga umat terakhir dari segala Nabi dan rasul Muhammad saw. (Moede, 1990:14). Puasa sangat berkaitan dengan ide latihan atau riyadlah (exercise), yaitu latihan keruhanian, sehingga semakin berat, semakin baik, dan utama, maka semakin kuat membekas pada jiwa dan raga seseorang yang melakukannya.
Kekhasan ibadah puasa adalah sifatnya yang pribadi atau personal, bahkan merupakan rahasia antara seseorang manusia dengan Tuhannya. Puasa merupakan latihan dan ujian kesadaran akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir (ompripresent) dan yang mutlak tidak pernah lengah sedikitpun dalam pengawasan-Nya terhadap tingkah laku hamba-hambaNya. Kesadaran seseorang akan beradaan Tuhan itu akan menjadikan dirinya senantiasa mengontrol emosi serta perilakunya, sehinga muncul keseimbangan lahiriyah dan batiniyah.
Bila ibadah puasa ditelaah dan direnungkan akan banyak sekali ditemukan hikmah dan manfaat psikologisnya. Misalnya saja, bagi mereka yang senang berpikir mendalam dan merenungkan kehidupan ini, maka puasa mengandung falsafah hidup yang luhur dan mantap, dan bagi mereka yang senang mawas diri dan berusaha turut menghayati perasaan orang lain, maka mereka akan menemukan  prinsip-prinsip hidup yang sangat berguna. Disadari atau tidak disadari, puasa akan berpengaruh positif kepada rasa (emosi), cipta (rasio), karsa (will), karya (performance), bahkan kepada ruh, jika syarat dan rukunnya dipenuhi dengan sabar dan ikhlas (Bastaman, 1995:181).
Manusia dikategorikan mempunyai pribadi yang tidak sehat dan akan mengalami berbagai masalah apabila hati dan akalnya kurang berfungsi sehingga tidak mampu mengontrol dan mengendalikan kekuatan nafsunya yang selalu mendorong kepada kejahatan. Menurut pandangan Islam, kurang berfungsinya hati dan akal antara lain disebabkan oleh karena terlalu banyak makan dan minum, pandangan ini didasarkan pada Hadis Rasulullah saw (Muhammad, tt., 144) sebagai berikut:
Artinya: Jangan kamu mematikan hatimu (pikiranmu) dengan banyak makanan dan minuman, karena sesungguhnya hati (pikiran) itu bagaikan tana-man, ia akan mati jika terlalu banyak air (Bahasa Indoneisa oleh Muhammad).
Senada dengan Hadist di atas, Luqman Al Hakim, seorang waliullah yang namanya diabadikan dalam Alquran (Muhammad, tt: 145) pernah menasihati anaknya dengan mengatakan:
Artinya: Wahai anakku! Apabila perut besarmu terlalu penuh, maka pikiran menjadi beku, hikmah akan membisu dan anggota badan akan malas mengerjakan ibadah (Bahasa Indonesia oleh Muhammad).
Berdasarkan Hadis dan nasihat Luqman Al Hakim di atas, dapat diambil pemahaman bahwa untuk mengembalikan fungsi serta kekuatan hati dan akal agar dapat mengontrol dan mengendalikan dorongan-dorongan nafsu dapat dilakukan dengan cara mengurangi makan dan minum, sekalipun makanan dan minuman tersebut halal. Mengurangi makan dan minum bukan berarti sekedar mengurangi jumlah makanan dan minuman yang dimakan atau diminum, tetapi dapat dilakukan dengan cara yang mengandung unsur ibadah, yaitu ibadah puasa, baik puasa wajib maupun puasa sunat misalnya puasa sunat pada setiap hari Senin dan hari Kamis yang dilakukan sesuai dengan tuntunan agama Islam.
Puasa merupakan momentum berharga untuk menghadirkan mental yang sehat, sebab dalam puasa terkandung latihan-latihan kejiwaan yang harus dilalui, misalnya berlaku jujur dengan menahan lapar dan dahaga baik di kala bersama orang lain maupun saat sendirian.

3.    HIKMAH PUASA

Hikmah dari ibadah shaum itu sendiri adalah melatih manusia untuk sabar dalam menjalani hidup.Maksud dari sabar yang tertera dalam al-Quran adalah ‘gigih dan ulet’ seperti yang dimaksud dalam QS. Ali ‘Imran/3: 146. Di antara hikmah dan faedah puasa selain untuk menjadi orang yang bertakwa adalah sebagai berikut:
• Untuk pendidikan/latihan rohani
o    Mendidik jiwa agar dapat menguasai diri
o    Mendidik nafsu agar tidak senantiasa dimanjakan dan dituruti
o    Mendidik jiwa untuk dapat memegang amanat dengan sebik-baiknya
o    Mendidik kesabaran dan ketabahan
• Untuk perbaikan pergaulan
Orang yang berpuasa akan merasakan segala kesusahan fakir miskin yang banyak menderita kelaparan dan kekurangan. Dengan demikian akan timbul rasa suka menolong kepada orang-orang yang menderita.


• Untuk kesehatan
• Sebagai rasa syukur atas segala nikmat Allah

Secara psikologis, pembentukan konsepsi takwa melalui ibadah puasa secara lebih operasional dapat diartikan sebagai pembentukan watak atau karakter yang memiliki kecerdasan ketangguhan (adversity intelligence), kecerdasan emosional (emotional intelligence), dan kecerdasan sosial (social intelligence) yang menjadi ukuran dari kualitas diri seseorang.
Pertama, kecerdasan adversity, yaitu kondisi psikologis seseorang yang mampu menghadapi berbagai kesulitan dan cobaan hidup yang dialaminya.Melalui ibadah puasa, seseorang sedang membangun kecerdasan ketangguhan melalui kemampuannya menahan lapar dan haus, serta berbagai godaan nafsu lainnya.Pada tahapan ini, dia merupakan individu yang memiliki kemampuan untuk bertahan dan terus berjuang dengan gigih ketika dihadapkan pada suatu problematika hidup, penuh motivasi, antusiasme, dorongan, ambisi, semangat, serta kegigihan yang tinggi.Individu ini dipandang sebagai figur yang memiliki kecerdasan adversity yang tinggi.
Kedua, kecerdasan emosional, yaitu kondisi psikologis seseorang untuk dapat menyadari dirinya (self-awareness) dan mengelola dirinya (self-management) secara produtif.Dengan berpuasa seseorang dilatih batin dan ruhaninya untuk peka dan sensitif terhadap dirinya sendiri dan sekaligus mengelola batinnya sehingga kalbunya memancarkan radar untuk dapat melihat dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk serta mana yang bermanfaat dan yang merusak bagi dirinya. Sebagaimana dikatakan Antoine De Saint-Exupery dalam The Little Prince ” It is with the heart that one sees rightly; what is essential is invisible to the eye.
Ketiga, kecerdasan sosial, yaitu kecerdasan yang terbentuk ketika hendak membangun sebuah relasi yang produktif dan harmonis.Selain dapat membangkitkan solidaritas sosial, hikmah ibadah puasa dapat meningkatkan kualitas relasi dengan sesama, seperti kerabat, tetangga, rekan kerja atau atasan.Relasi ini sangat mungkin berjalan dengan baik jika seseorang mampu mendemonstrasikan sejumlah elemen penting dalam kecerdasan sosial.

4.    MANFAAT PUASA

Puasa merupakan salah satu amalan batin yang tidak perlu diketahui oleh orang lain. Saat melaksanakan puasa, seseorang harus mampu menahan keinginan-keinginannya, seperti keinginan untuk makan, minum, marah, keinginan nafsu seksual, dan sebagainya.Orang yang melaksanakan ibadah puasa berarti melatih dirinya untuk membimbing atau mengendalikan hawa nafsu dan menahan diri dari dorongan-dorongan naluri yang bersifat negatif, atau dalam istilah psikologi disebut self-control.
Abu Hurairah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh At-Thabrany (dalam Wahjoetomo, 1997: 15), menyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda yang artinya “Berpuasalah kamu, niscaya kamu sehat.”
Pengertian sehat sebagai hikmah dari ibadah puasa yang dinyatakan oleh Rasulullah SAW bukan sekedar mengandung pengertian sehat secara fisik/jasmani, tetapi juga mengandung pengertian sehat secara psikis/rohani. Hasil penelitian Wahjoetomo (1997) dan Najib (1990) menyimpulkan bahwa ibadah puasa bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan fisik atau jasmani.
Pada saat seseorang melaksanakan ibadah puasa, maka terjadi pengurangan jumlah makanan yang masuk ke dalam tubuhnya sehingga kerja beberapa organ tubuh seperti hati, ginjal, dan lambung terkurangi. Puasa memberikan kesempatan kepada metabolisme (pencernaan) untuk beristirahat beberapa jam sehingga efektivitas fungsionalnya akan selalu normal dan semakin terjamin. Di samping memberikan kesempatan kepada metabolisme (pencernaan) untuk beristirahat beberapa jam, puasa juga memberikan kesempatan kepada otot jantung untuk memperbaiki vitalitas dan kekuatan sel-selnya.
Disamping bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan fisik atau jasmani, puasa bermanfaat pula bagi kesehatan psikis. Cott (Ancok & Suroso, 1995), seorang ahli jiwa bangsa Amerika, menyebutkan bahwa pernah dilakukan eksperimen untuk menyembuhkan gangguan kejiwaan dengan cara berpuasa. Eksperimen tersebut dilaku-kan oleh Dr. Nicolayev, seorang guru besar pada The Moscow Psychiatric Institute. Subyek penelitian dibagi menjadi dua kelompok yang sama besar baik usia maupun berat ringannya penyakit yang diderita. Kelompok pertama diberi pengobatan dengan ramuan obat-obatan, sedangkan kelompok kedua diperintahkan untuk berpuasa selama 30 hari. Hasil eksperimen tersebut menyimpulkan bahwa pasien-pasien yang tidak bisa disembuhkan dengan terapi medik ternyata bisa disembuhkan dengan cara berpuasa, selain itu kemungkinan pasien untuk tidak kambuh lagi setelah 6 tahun kemudian ternyata tinggi dengan terapi melalui puasa. Cott juga menyebutkan bahwa penyakit susah tidur (insomnia), dan rasa rendah diri juga dapat disembuhkan dengan cara melakukan puasa.
Dari hasil penelitian tentang manfaat puasa di atas, terbukti bahwa ibadah puasa disamping bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan fisik, juga terbukti bermanfaat bagi kesehatan psikis. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa puasa adalah salah satu ajaran dalam Islam yang dapat digunakan untuk membantu seseorang mengatasi masalah, terutama masalah psikis seperti susah tidur (insomnia) dan rasa rendah diri.
Puasa juga berpengaruh pada kesehatan mental. Ganguan mental dapat berakar dari tidak terpenuhinya kebutuhan psikis dasar yang berasal dari kekhasan eksistensi manusia yang harus dipuaskan, tetapi cara memuaskan psikis itu bermacam-macam, dan perbedaan cara pemuasan kebutuhan tersebut serupa dengan perbedaan tingkat gangguan mental.
Fromm menyatakan, konsep kesehatan mental mengikuti kondisi dasariah eksistensi manusia di segala zaman dan kebudayaan. Kesehatan mental dicirikan oleh kemampuan mencintai dan menciptakan dengan lepas dari ikatan-ikatan inses terhadap klan dan tanah air, dengan rasa identitas yang berdasarkan pengalaman akan diri sebagai subjek dan pelaku dorongan-dorongan dirinya dengan menangkap realitas di dalam dan di luar dirinya, yaitu dengan mengembangkan obyektivitas dan akal budi (Fromm, 1995:74).
Zakiah Daradjat (1995:78) menuturkan, pelaksanaan agama dalam kehidupan sehari-hari dapat membentengi seseorang dari gangguan jiwa (mental) dan dapat pula mengembalikan jiwa bagi orang yang gelisah. Karena kegelisahan dan kecemasan yang tidak berujung pangkal itu, pada umumnya berakar dari ketidak puasan dan kekecewaan, sedangkan agama dapat menolong seseorang untuk menerima kekecewaan sementara dengan jalan memohon ridla Allah dan terbayangkan kebahagian yang akan dirasakan di kemudian hari.
Semakin dekat seseorang dengan Tuhan, semakin banyak ibadahnya, maka akan semakin tentramlah jiwanya serta semakin mampu menghadapi kekecewaan dan kesukaran dalam hidup dan sebaliknya. Dan semakin jauh seseorang dari agama, akan semakin sulit baginya untuk memperoleh ketentraman hidup. Dalam pandangan psikologi Islam, penyakit mental yang biasa berjangkit pada diri manusia, antara lain:
1.    Riya'. Penyakit ini mengandung tipuan, sebab menyatakan sesuatu yang tidak sebenarnya, orang yang berbuat riya' mengatakan atau melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan hakikat yang sebenarnya.
2.    Hasad dan dengki, yaitu suatu sikap yang  melahirkan sakit hati apabila orang lain mendapat kesenangan dan kemuliaan, dan ingin agar kesenangan dan kemulian itu hilang dari orang tersebut dan beralih kepada dirinya.
3.    Rakus, yaitu keinginan yang berlebihan untuk makan.
4.    Was-was. Penyakit ini sebagai akibat dari bisikan hati, cita-cita, dan angan-angan dalam nafsunya dan kelezatan.
5.    Berbicara berlebihan. Keinginan berbicara banyak merupakan salah satu kwalitas manusia yang paling merusak. Hal ini dapat mengahantarkan kepada pembicaraan yang tidak berguna dan berbohong.Dan lain sebagainya (Langgulung, 1986: 328).
Korelasi antara Puasa dengan Kesehatan Mental
Dalam Islam pengembangan kesehatan mental terintegrasi dalam pengembangan pribadi pada umumnya, dalam artian kondisi kejiwaan yang sehat merupakan hasil sampingan (by-product) dari kondisi yang matang secara emosional, intelektual, dan sosial, serta matang keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini tampak sejalan dengan ungkapan lama the man behind the gun, yang menunjukkan bahwa unsur penentu dari segala urusan ternyata adalah unsur manusianya juga, atau dalam tulisan ini lebih tepat diganti menjadi the man behind the system.
Dengan demikian, jelas dalam Islam betapa pentingnya pengembangan pribadi untuk meraih kwalitas insan paripurna, yang otaknya sarat dengan ilmu-ilmu bermanfaat, bersemayam dalam kalbunya iman dan taqwa kepada Tuhan, sikap dan perilakunya meralisasikan nilai-nilai kiislaman  yang mantap dan teguh, wataknya terpuji, dan bimbingannya kepada masyarakat membuahkan keimanan, rasa kesatuan, kemandirian, semangat kerja tinggi, kedamaian dan kasih sayang. Insan demikian pastilah jiwanya sehat.Suatu tipe manusia ideal dengan kualitas yang mungkin sulit dicapai, tetapi dapat dihampiri melalui berbagai upaya yang dilakukan secara sadar, aktif, dan terencana.
Ditinjau secara ilmiyah, puasa dapat memberikan kesehatan jasmani maupun ruhani. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hasil penelitian yang dilakukan para pakar. Penelitian Nicolayev, seorang guru besar yang bekerja pada lembaga psikiatri Mosow (the Moskow Psychiatric Institute), mencoba menyembuhkan gangguan kejiwaan dengan berpuasa. Dalam usahanya itu, ia menterapi pasien sakit jiwa dengan menggunakan puasa selama 30 hari. Nicolayev mengadakan penelitian eksperimen dengan membagi subjek menjadi dua kelompok sama besar, baik usia maupun berat ringannya penyakit yang diderita. Kelompok pertama diberi pengobatan dengan ramuan obat-obatan.Sedangkan kelompok kedua diperintahkan untuk berpuasa selama 30 hari. Dua kelompok tadi dipantau perkembangan  fisik dan mentalnya dengan tes-tes psikologis. Dari eksperimen tersebut diperoleh hasil yang sangat bagus, yaitu banyak pasien yang tidak bisa disembuhkan dengan terapi medik, ternyata bisa disembuhkan dengan puasa.Selain itu kemungkinan pasien tidak kambuh lagi selama 6 tahun kemudian ternyata tinggi.Lebih dari separoh pasien tetap sehat.
Sedangkan penelitian yang dilakukan Alan Cott terhadap pasien gangguan jiwa di rumah sakit Grace Square, New York juga menemukan hasil sejalan dengan penelitian Nicolayev.Pasien sakit jiwa ternyata bisa sembuh dengan terapi puasa. Ditinjau dari segi penyembuhan kecemasan, dilaporkan oleh Alan Cott, bahwa penyakit seperti susah tidur, merasa rendah diri, juga dapat disembuhkan dengan puasa.
Percobaan psikologi membuktikan bahwa puasa mempengaruhi tingkat kecerdasan seseorang.Hal ini dikaitkan dengan prestasi belajarnya.Ternyata orang-orang yang rajin berpuasa dalam tugas-tugas kolektif memperoleh skor jauh lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak berpuasa.
Di samping hasil penelitian di atas, puasa juga memberi pengaruh yang besar bagi penderita gangguan kejiwaan, seperti insomnia, yaitu gangguan mental yang berhubungan dengan tidur. Penderita penyakit ini sukar tidur, namun dengan diberikan cara pengobatan dengan berpuasa, ternyata penyakitnya dapat dikurangi bahkan dapat sembuh.
Dari segi sosial, puasa juga memberikan sumbangan yang cukup besar.Hal ini dapat dilihat dari kendala-kendala yang timbul di dunia. Di dunia ini ada ancaman kemiskinan yang melanda dunia ketiga khususnya. Hal ini menimbulkan beban mental bagi sebagian anggota masyarakat di negara-negara yang telah menikmati kemajuan di segala bidang. Menanggapi kemiskinan di dunia ketiga, maka di Amerika muncul gerakan Hunger Project. Gerakan ini lebih bersifat sosial, yaitu setiap satu minggu sekali atau satu bulan sekali mereka tidak diperbolehkan makan. Uang yang semestinya digunakan untuk makan tersebut diambil sebagai dana untuk menolong mereka yang miskin (Ancok, 1995:57).
Ibadah puasa yang dikerjakan bukan karena iman kepada Allah biasanya menjadikan puasa itu hanya akan menyiksa diri saja. Adapun puasa yang dikerjakan sesuai ajaran Islam, akan mendatangkan keuntungan ganda, antara lain: ketenangan jiwa, menghilangkan kekusutan pikiran, menghilangkan ketergantungan jasmani dan rohani terhadap kebutuhan-kebutuhan lahiriyah saja.
Menurut Hawari (1995:251), puasa sebagai pengendalian diri (self control). Pengendalian diri adalah salah satu ciri utama bagi jiwa yang sehat. Dan manakala pengendalian diri seseorang terganggu, maka akan timbul berbagai reaksi patologik (kelainan) baik dalam alam pikiran, perasaan, dan perilaku yang bersangkutan. Reaksi patologik yang muncul tidak saja menimbulkan keluhan subyektif pada diri sendiri, tetapi juga dapat mengganggu lingkungan dan juga orang lain.
Manfaat puasa yang lain juga dapat dibuktikan secara alamiah adalah peremajaan kambali dan perpanjangan harapan hidup. Metabolism yang lebih rendah, produksi protein yang lebih efsian, meningkatnya system kekebalan, dan bertambahnya produsi hormon, berkontribusi terhadap manfaat puasa.
Sedangkan menurut beberapa penelitian lain, puasa dapat memperbaiki kolesterol darah. Kadar kolesterol darah yang tinggi dalam jangka panjang akan menyumbat saluran pembuluh darah dalam dentuk aterosklerosis (pengapuran atau pengerasan pembuluh darah). Yang mana dari hasil panelitian ini dapat miningkatkan kolesterol darah HDL, yang dikenal sebagai kolesterol darah baik karena dapat menurangi resiko terkadinya aterosklerosis, sebesar 25 mg persen dan menurunkan lemak trgliserol sekitar 20 mg persen. Lemak trigliserol merupakan bahan pembentuk kolesterol LDL yang dikenal sebagai kolesterol jahat, karena memiliki sifat berlawanan dengan HDL. Dengan puasa dapat mengurangi risiko terjadinya stoke.
Puasa sangat menyehatkan untuk tubuh dan dapat menjadi suatu metode detoksifikasi (pembersihan darah) yang sangat baik. Abdul Mujib, M. Ag dan Jusuf Mudzakir, Msi, dalam buku berjudul Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, menulis dengan puasa fisik seperti menahan lapar, minum, dan hubungan seksual, maupun puasa psikis seperti manahan hawa nafsu dari mencuri, marah, dengki, iri hati, angkuh, perilaku agrsif dan sebagainya, maka akan mengobati rasa sakit seseorang yang bersemayam dihatinya.

1 komentar: